BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

Islam yang merupakan agama pembebas bagi kalangan tertindas dan hegemoni penguasa yang non Islam seperti Persia dan Romawi‎, acap kali dianggap agama yang identik dengan darah dan pedang. Anggapan tersebut sama sekali tidaklah terbukti karena Islam merupakan agama pembela bagi kalangan tertindas. Islam terserap dalam  konsep, aturan keseharian, memberikan tata ikatan kemasyarakatan, dan memenuhi hasrat meraih kebahagiaan hidup. Lantaran keragaman tersebut, Islam berkembang menjadi keluarga terbesar ummat manusia. .

Afrika adalah tempat bermacam-macam bangsa dan kebudayaan yang banyak sekali. Afrika adalah negeri dengan pertentangan yang sangat mencolok dan keindahan yang liar. Di sana juga terdapat banyak masalah termasuk perang, kelaparan, kemiskinan, dan masalah penyakit. Di Afrika terdapat gurun Sahara yang merupakan gurun pasir terbesar di dunia. Gurun itu terbentang mulai dari samudra Atlantik di barat hingga laut merah di sebelah timur. Sahara meliputi seperempat dari seluruh benua itu

 

Afrika Utara

Afrika Utara merupakan wilayah yang sangat luas yaitu meliputi lembah Sungai Nil bagian bawah yang disebut Al-Misr (Mesir Modern), wilayah Libya, Cyrenacia, Tripolitania dan Tunisia yang seluruh wilayahnya dikenal orang Arab sebagai wilayah Afrika, serta wilayah Aljazair dan Maroko dengan sebutan Al-Maghribi. Sebelum Islam datang wilayah Afrika Utara berada dalam kekuasaan bangsa Romawi, sebuah imperium yang sangat besar yang melingkupi beberapa Negara dan berjenis-jenis bangsa manusia.

Afrika Utara merupakan daerah yang sangat penting bagi penyebaran agama Islam di daratan Eropa. Afrika Utara menjadi pintu gerbang masuknya Islam ke wilayah yang selama berabad-abad berada di bawah kekuasaan Kristen sekaligus benteng pertahanan Islam untuk masuk wilayah tersebut. Ketika wilayah ini menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Islam di bawah kepemimpinan Panglima Arab, dibentuklah pasukan Barbar yang ditugaskan memelihara wilayah Spanyol hingga sebelah utara Saragossa dan Ghalia Selatan.[1] Pada perkembangan selanjutnya, ketika terjadi keganasan pasukan Kristen yang berusaha mengusir kaum muslim dari Andalusia, para pengungsi yang berdarah Arab yang dikenal Al-Maghribi Barbar berangkat dalam jumlah besar-besaran menuju Afrika Utara.[2]

Berkaitan dengan hal diatas, makalah ini membahas tentang Islamisasi di Afrika Utara, sehingga Islam dapat diterima di wilayah yang telah dikuasai sangat lama oleh penguasa-penguasa Romawi‎. Akan tetapi, karena berbagai keterbatasan, tulisan ini tidak akan membicarakan semua wilayah yang ada dalam Afrika dengan alasan bahwa cakupan wilayah Afrika‎ sangat luas. Dengan pertimbangan tersebut, bahasan ini difokuskan pada Islamisasi‎ Afrika Utara, beberapa dinasti-dinasti dan kemajuan peradaban Islam di Afrika Utara.

  1. Rumusan Masalah
  2. Bagaimanakah Islamisasi Afrika Utara?
  3. Sebutkan beberapa dinasti yang pernah ada di Afrika Utara?
  4. Bagaimanakah kemajuan peradaban Islam di Afrika Utara dalam bidang politik, sosial budaya dan karakteristik manajemen pendidikan islam?
  5. Tujuan Pembahasan
  6. Untuk memahami Islamisasi Afrika Utara.
  7. Untuk mengetahui dinasti-dinasti yang pernah ada di Afrika Utara.
  8. Untuk memahami kemajuan peradaban Islam di Afrika Utara dalam bidang politik, sosial budaya dan karakteristik manajemen pendidikan Islam.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Islamisasi Afrika Utara

Nama Afrika berasal dari bahasa latin, yaitu Africa terra yang berarti tanah Afri. Afrika merupakan benua terluas nomor dua setelah Asia, yaitu 20 % dari seluruh total daratan bumi dan penduduknya mencapai sepertujuh dari seluruh populasi dunia.[3] Sebutan bagi penduduk Afrika biasa dikenal dengan nama Barbar dan Negro. Bangsa Negro sangat majemuk, bahkan  mendominsi dari jumlah penduduk di benua Afrika, aktifitas keagamaannya sangat beragam yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari.

Afrika Utara adalah bagian dari daerah di benua Afrika di mana budaya dan penduduknya berbeda dengan daerah-daerah di Afrika‎ lainnya. Afrika‎ Utara adalah sebuah kehidupan masyarakat Barbar yang bersifat kesukuan, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dan patriarkhi.[4] Penduduk Afrika‎ Utara sebagian besar termasuk ras kulit putih dan merupakan penutur bahasa Afro-Asia. Sebelum Islam masuk ke daerah Afrika‎ Utara, daerah ini merupakan daerah dibawah kekuasaan kekaisaran Romawi‎.

Secara geografis, Afrika Utara merupakan wilayah bergurun. Dalam terminologi Arab, bagian dari Afrika Utara yaitu wilayah Libya, Tunisia, Al-Jazair, dan Maroko. Seluruh wilayah tersebut oleh orang-orang Arab dikenal dengan sebutan Al-Maghribi.[5]

Masuknya Islam di Afrika‎ Utara bermula pada masa Nabi Muhammad SAW, ketika ada kontak pertama kali antara Islam dengan Afrika Utara‎, yaitu setelah para sahabat hijrah ke Habsyi dan mendapatkan sambutan baik dari raja Najjasyi maupun penduduk setempat. Pada 639 Masehi, penyebaran Islam kemudian dilanjutkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab dengan mengutus Amru bin ‘Ash.[6] Pasukan muslim dibawah panglima Amru bin ‘Ash berhasil memasuki wilayah Mesir dengan mengelahkan tentara Byzantium yaitu pada tahun 639-644 M, dan mendirikan kota Fushat sebagai Ibu kota kaum muslimin pertama di wilayah Afrika Utara.[7]

Kedatangan Islam ke Afrika Utara merupakan moment penting bagi masa depan Islam secara keseluruhan di benua Afrika dan daratan eropa yang selama berabad-abad berada dibawah kekuasaan kekaisaran Romawi. Dalam peradaban Islam, Afrika Utara tidak dapat dilupakan begitu saja. Hal ini dikarenakan Afrika Utara merupakan pintu masuk dari sentral penyebaran Islam, yakni Timur Tengah. Bukti kemajuan di Afrika‎ Utara dalam peradaban Islam adalah dalam bidang arsitektur, seni, dekorasi dan intelektual. Diantara tokoh yang terkenal dalam bidang intelektual adalah Ibn Batuta (Biologi), Ibnu Khaldun (sosiologi) dan Ibn Zuhr.[8]

Setelah Khalifah Umar bin Khattab berhasil membuka jalan menuju Afrika Utara dengan Panglima gagah berani Amru bin Ash, perjuangan memperluas wilayah kekuasaan di Afrika Utara, dilanjutkan oleh Khalifah Usman bin Affan dengan mengirim Panglima Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah, yang akhirnya berhasil melumpuhkan tentara kekaisaran Romawi di Laut Tengah dan mengalahkan tentara kerajaan Byzantium serta terus maju sampai ke wilayah Barqah dan Tripoli. Penaklukan Abdullah bin Sa’ad atas dua wilayah itu dimaksudkan untuk menjaga keamanan daerah Mesir.

Perluasan wilayah di Afrika Utara sedikit terganggu dengan adanya suhu politik yang memanas di Madinah yang kurang mendukung sehingga perluasan wilayah tidak memungkinkan untuk dilanjutkan. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Raja Konstantine III yang memerintahkan kepada Gubernur-Gunernur Romawi untuk mendesak mundur pasukan Islam dan mendudki kembali kembali daerah kekuasaan atas wilayah Afrika Utara. Namun, kekejaman dan pemerasan yang dilakukan oleh pasukan-pasukan Romawi, telah mengusik kenyamanan penduduk asli Afrika Utara, sehingga tidak lama kemudian penduduk asli sendiri memohon kepada muslimin untuk membebaskan mereka dari kekuasaan kekaisaran Romawi.[9]

Penyebaran Islam dan perluasaan daerah kekuasan di Afrika Utara mengalami kemajuan pesat ketika pada masa Bani Ummayah, dimana Khalifah Muawiyah Bin Abi Sofyan bertekad untuk memberikan pukulan terakhir kepada kekuasaan Romawi di Afrika Utara, kemudian mengutus Panglima Masyhur Uqbah bin Nafi’ Al-Fikri.[10]

Pada tahun 670 M, Uqbah bin Nafi’ Al-Fikri mendirikan kota militer yang termasyhur, Kairawan, disebelah selatan Tunisia. Tujuannnya adalah untuk mengendalikan orang-orang Barbar yang ganas dan sukar diatur, dan juga untuk menjaga terhadap perusakan-perusakan yang dilakukan oleh orang-orang Romawi dari laut. Perjalanan Uqbah bin Nafi’ Al-Fikri yang cemerlang itu dan pukulan-pukulannya yang menghancurkan orang-orang Romawi dan Barbar, telah membuat negeri itu aman selama beberapa tahun.

Perjalanan panjang penyebaran Islam tidak serta merta berjalan dengan mudah, akan tetapi melalui beberapa rintangan baik rintangan dari dalam maupun dari luar. Pergolakan politik yang terjadi dalam pemerintahan pada tahun 683 M, orang-orang Islam di Afrika utara mengalami kemunduran yang hebat, karena orang-orang Barbar dibawah kepemimpinan Kusailah bangkit memberontak Khalifah Muawwiyah bin Abi Sofyan dan mengalahkan Uqbah bin Nafi’ Al-Fikri. Dia dan seluruh pasukannya tewas dalam pertempuran. Sejak saat itu orang-orang Islam tidak berdaya mengembalikan kekuasaannya di Afrika Utara, karena selain berhadapan dengan bangsa Barbar juga ada bangsa Romawi yang memanfaatkan kesempatan dalam pemberontakan tersebut.[11]

Dalam kondisi seperti ini penyebaran Islam tidak bisa menyebar dengan baik keadaan ini berlanjut hingga terjadi pergantian Gubernur dari Hasan bin Nu’man kepada Musa bin Nusair tahun 708 M, pada awal pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik 705-715 M, bahkan pergantian pimpinan ini pun juga mendorong orang-orang Barbar mengadakan pemberontakan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Islam. Musa bin Nusair dapat mengalahkan pemberontakan mereka, dan untuk menjaga agar pemberontakan tidak timbul kembali, Musa bin Nusair menetapkan kebijakan “Perujukan”, yaitu menempatkan orang-orang Barbar kedalam pemerintahan orang-orang Islam.[12]

Ketika pemerintahahan dipegang oleh Musa bin Nusair, ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki Al-Jazair dan Maroko, yang kemudian menimbulkan perubahan sosial dan politik yang cukup drastis di Afrika Utara. Pemberontakan orang-orang Barbar yang ganas dapat dilunakkan dengan dominasi politik berada di tangan orang-orang muslim dan da’wah Islam yang menyebar dengan kecepatan yang luar biasa. Hal-hal inilah yang menyebabkan sebagian sejarawan menganggap Musa Ibn Nusair sebagai penakluk yang sesungguhnya atas Afrika Utara.[13]

Setelah serangkaian penaklukan itu terjadi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Islamisasi Afrika Utara terjadi melalui migrasi pedagang-pedagang muslim, sejumlah guru, murid, dan juga datangnya pedagang dari Mediterania sehingga terbentuklah masyarakat muslim minoritas di beberapa wilayah Afrika Utara. Dari kelompok inilah kemudian Islam mengepakkan sayapnya dengan cara mengislamkan penguasa-penguasa lokal dan kemudian menyebar luas ke masyarakat dan para petani.[14]

 

  1. Dinasti-dinasti di Afrika Utara

Diantara dinasti yang muncul di Afrika‎ Utara sebagai berikut:

  1. Dinasti Idrisiyah
  2. Sejarah Berdirinya

Dinasti ini didirikan oleh salah seorang penganut syi’ah, yaitu Idris bin Abdullah yang merupakan Hasan bin Ali, pada tahun 788 M. Dinasti ini merupakan Dinasti Syi’ah pertama yang tercatat dalam sejarah berusaha memasukan syi’ah ke daerah Maroko dalam bentuk yang sangat halus. Sebelum dikuasai dinasti Idrisiyah wilayah tersebut didominasi oleh kaum Khawarij.[15]

Awal mula Dinasti Idrisiyah berdiri di Maroko, ketika Idris bin Abdullah melakukan pemberontakan terhadap Abbasiyah pada tahun 786 M, namun karena kalah ia melarikan diri ke Maroko dan mendirikan dinasti Idrisiyah (788-974 M) yang beribu kota di Fez.[16]

Inilah merupakan Dinasti Syiah pertama dalam sejarah Islam. Karena dinasti ini terletak antara kekuatan islam besar yaitu Ummayah di Andalusia dan Fatimiah di afrika utara. Dinasti ini yang pada akhirnya ditaklukkan oleh panglima Ghalib Billah dari dinasti Umayyah di Andalusia.[17] Idrisiyah adalah dinasti pertama yang berupaya memasukkan doktrin Syi’ah, meskipun dalam bentuk yang sangat lunak, masuk ke Maroko. Sebelumnya, wilayah itu didominasi oleh kaum Khawarij.[18]

  1. Masa Kejayaan Dinasti Idrisiyah

Sepeninggal Idris ibn Abdullah, tampuk kekuasaan dipegang anaknya, Idris ibn Idris ibn Abdullah atau Idris II pada 177 H/93 M. Pada masa kepemimpinannya Idris II, dinasti Idrisiyah mengalami perkembangan cukup pesat. Hal ini terbukti ia mampu membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam sebuah pemerintahan, seperti pembangunan kembali kota Fez, istana, masjid, percetakan uang, dan pembangunan saluran air yang dikirim ke rumah-rumah penduduk. Keseriusannya membangun kota dan perangkat lainnya ini, menurut para ahli, ia dikategorikan sebagai pendiri sebenarnya dari dinasti Idrisiyah.[19]

  1. Masa Kemunduran Dinasti Idrisiyah

Idris II memerintah selama kurang lebih sewindu berkuasa, krisis politik internal dan konflik di kalangan keluarga menyebabkan ia tak mampu mengatasinya, hingga ia wafat pada 836 M. Kedudukannya pun digantikan saudaranya bernama Isa ibn Idris (836-849 M).

Jatuhnya dinasti Idrisiyah diakibatkan adanya serangan dari Dinasti Fathimiyah di Mesir dan Bani Umayyah di Cordova, Andalusia. Dalam sejarah tercatat, dinasti ini tidak pernah mendapat pengakuan dari Bani Abbasiyah sebagai penguasa daerah otonom di Afrika Utara, bahkan dianggap sebagai ancaman serius bagi keutuhan wilayah Islam. Persoalan ideologis, antara penguasa Bani Abbasiyah yang Sunni dengan Bani Idrisiyah yang Syi’ah, berkembang menjadi persoalan-persoalan politis. Perseteruan ini terus berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan dinasti Idrisiyah. Karena terkepung di antara Fatimiyah Mesir dan Umayyah Spanyol, dinasti Idrisiyah akhirnya hancur oleh serangan yang mematikan yang dilancarkan panglima utusan Khalifah Al-Hakam II (961-967) M di Cordova.[20]

Fez menjadi pusat kaum Syorfa atau Syurafa (bentuk jamak dari syarif,orang mulia), yakni para keturunan cucu Nabi SAW, Hasan dan Husain bin Ali bin Abi Thalib, yang menjadi faktor penting dalam sejarah perkembangan Maroko. Kekuasaan Idrisiyah yang ada dikota-kota, tanpa menguasai desa-desa akhirnya terpecah-pecah dimasa pemimpin Muhammad Al-Muntasir pada tahun 213-221 H. Kekuaaan mereka dibagi-bagikan kepada saudara-saudara Al-Muntasir yang banyak jumlahnya. Musuh-musuh mereka yang terdiri dari suku Barbar, dengan mudah dapat memukulnya. Disamping itu muncul pula ancaman musuh yang lebih besar, yakni Daulah Fatimiyah yang dipimpin oleh Mahdi Ubaidillah. Yahya IV 292-310 H terpaksa mengakui kekuasaan Fatimiyah, dan Fez dapat diduduki oleh dinasti baru tersebut pada tahun 309 M. Baru menjelang akhir pemerintahannya, Idrisiyah dapat menguasai pelosok Maroko. Tetapi Bani Ummayah yang berkuasa di Spanyol memukul Idrisiyah tahun 363 H dan keluarga terakhir dinasti yang kalah itu dibawa ke Cordova.[21]

  1. Dinasti Rustamiyah
  2. Sejarah Berdirinya

Dinasti Rustamiyah berdiri pada tahun 160-296 H di Aljazair Barat, yang dipelopori oleh Abdurrahman bin Rustam yang beraliran Khawarij Ibadiyah. Ia merupakan pemimpin suku Barbar dari jabal Nefusa yang menganut faham Kharijiyah sekte Ibadiyah, berhasil menduduki Tripoli dan Qayrawan. Dinasti ini bertahan sampai tahun 909 M. Rustamiyah memiliki nilai penting bagi sejarah Islam Afrika Utara yang tidak sebanding dengan masa dan lingkup kekuasaan politis mereka.[22]

Keberadaan dinasti tersebut sebenarnya merupakan protes terhadap dominasi Arab yang Sunni dan orang-orang Ortodok. Ibu kotanya ialah Tahart yang berhubungan dengan kota Aures, Tripoli dan Tunisia Selatan. Dinasti ini bersekutu dengan Bani Ummayah di Spanyol karena terjepit oleh Idrisiyah yang Syi’ah di Barat dan Aglabiyah yang Sunni di Timur mereka.

  1. Masa Kejayaan Dinasti Rustamiyah

Kota Tahart, pada masa Dinasti Rustamiyah mengalami kemakmuran yang menakjubkan dan sebagai persinggahan diutara diantara salah satu rute-rute kafilah trans-sahara, juga merupakan pusat ilmu pengetahuan agama yang tinggi khususnya aliran Khawarij untuk seluruh Afrika Utara dan bahkan diluar wilayah tersebut, seperti Oman, Zanzibar dan Afrika timur.

  1. Masa Kemunduran Dinasti Rustamiyah

Bangkitnya Dinasti Fathimiyah yang Syi’ah di Maroko berakibat fatal bagi Dinasti Rustamiyah (777-909 M) dan yang mengakibatkan kemunduran bagi dinasti ini sebagaimana bagi dinasti-dinasti lokal lainnya.[23] Abu Abdullah dari suku Barbar dan keluarga Rustamiyah banyak dibunuh oleh penakluknya itu, sedang yang lain meloloskan diri ke Wargla, selatan dari daerah Tahart. Walaupun secara politis Dinasti Rustamiyah sudah mengalami kemunduran dan keruntuhan oleh Dinasti Fathimiyah, akan tetapi Dinasti ini masih tetap bisa berkembang dan berpengaruh di sebagian wilayah Al-Magribi seperti Aljazair, Pulau jerba di Tunisia, dan Gurun Nefusa.

  1. Dinasti Murabbitun
  2. Sejarah Berdirinya

Pada mulanya, Dinasti Murabithun pada awalnya adalah sebuah kegiatan militer keagamaan yang didirikan pada abad 11. Murabithun (ribath) sejenis benteng pertahanan Islam yang berada di sekitar masjid. Masjid mempunyai dua fungsi sebagai tempat ibadah, penyebaran da’wah sekaligus sebagai benteng pertahanan.[24]

Dinasti Murabithun berasal dari suku Lamtunah, yaitu merupakan bagian dari cabang suku Shanhajah dari suku Barbar. Jumlah mereka semakin bertambah ketika Musa bin Nushair menjadi Gubernur di wilayah Afrika Utara. Dalam perkembangan berikutnya, mereka menjadi sebuah komunitas yang cukup dominan di wilayah tersebut. Gerakan Dinasti Murabithun ini dipelopori Yahya bin Ibrahim Al-Jaddali salah seorang kepala suku Lamtunah.[25]

  1. Masa Kejayaan Dinasti Murabbitun

Puncak prestasi masa kejayaan Dinasti Murabbitun, yaitu pada masa Yusuf bin Tasyfin, ia berhasil menyeberang ke Spanyol. Keberangkatannya ke Spanyol atas undangan Gubernur Cordoba, Al-Mu’tamid bin Abbas, yang terancam kekuasaan oleh Raja Alfonso VI (Raja Leon Castelia). Dalam melaksanakan perjalanan ini Yusuf Bin Tasyfin mendapat dukungan dari Raja Al-Thawaif di Andalus. Dalam sebuah pertempuran besar di Zallakah tanggal 12 Rajab 479 H/ 23 Oktober 1086 M, ia berhasil mengalahkan Raja Alfonso VI selanjutnya berhasil merebut Granada dan Malaga. Mulai saat itulah ia memakai gelar Amir Al-Mukminin. Pada akhirnya ia juga berhasil menaklukan Muluk Al-Thawaif, kemudian menggabungkan wilayah itu dalam kerajaan yang dibangun. Yusuf juga berhasil menaklukan Almeria dan Badajoz. Kemudian menaklukan kerajaan Saragosa dan pulau Balearic.[26]

Yusuf bin Tasfin wafat dalam usia 100 tahun (1106), yang pada waktu itu kekuasaannya telah sampai ke Liberia Selatan termasuk juga Valencia dan Afrika Utara dari kepulauan Atlantik sampai dengan Aljazair. Warisan yang cukup luas tersebut diterima anaknya yang bernama Ali bin Yusuf bin Tasfin dan berhasil melanjutkan politik pendahulunya dengan mengalahkan anak Alfonso VI tahun 1108.

  1. Masa Kemunduran Dinasti Murabbitun

Sepeninggal Yusuf bin Tasyfin pada 1106 M, kekuasaan Dinasti Murabithun hanya bertahan setengah abad, disebabkan Ali bin Yusuf tidak banyak melakukan inovasi dan berkreasi dalam kekuatan dan kekuasaan, sehingga Dinasti Murabbitun mengalami kemunduran dan juga Ali bin Yusuf tidak sepandai ayahnya (Yusuf bin Tasfyin) dalam kepemimpinan dan politik, karena ternyata Ali bin Yusuf lebih mengedepankan keagamaan. Sehingga untuk kepemimpinan dan kenegaraan, para ulama banyak berperan penting dalam hal tersebut.

Peranan ulama sangat dominan di dalam memerintah sehingga timbul konflik dari kelompok Kristen, disebabkan posisi pemerintahan dipegang oleh mereka. Para Ulama mengeluarkan kebijakan yang sangat diskriminatif, khususnya terhadap kelompok Yahudi dan Kristen. Apabila kelompok non-Muslim ingin menjalankan praktek keagamaan, mereka diminta untuk membayar pajak bila ingin bebas menjalankan ibadahnya. Bagi masyarakat non-Muslim yang tidak mampu membayar, mereka diminta untuk pergi meninggalkan tempat tinggal mereka. Kebijakan yang tidak popular ini menjadi salah satu faktor penyebab perlawanan masyarakat non-Muslim di Andalusia.

Pada pertengahan abad ke-12, Dinasti Murabithun mengalami keretakan. Di Spanyol Kerajaan Al-Thawaif menolak akan kekuasaaannya di Maroko gerakan Dinasti Muwahhidun mulai menghancurkan Dinasti Murabithun. Kemunduran yang dialami oleh Dinasti Murabithun, juga dipicu oleh kecenderungan dari para pemimpinnya yang senang menumpuk harta kekayaan disamping para ulamanya terjerumus pada mengkafirkan orang lain yang berusaha untuk merobah moral masyarakat dengan mengokohkan prinsif-prinsif syari’ah dan aqidah.

Sehingga dapat di ambil kesimpulan, bahwa kemunduran Dinasti Murabithun disebabkan oleh hal-hal berikut ini:[27]

  • Lemahnya disiplin tentara dan merajalelanya korupsi melahirkan disintegrasi.
  • Berubahnya watak keras pembawaan Barbar menjadi lemah ketika memasuki kehidupan Maroko dan Andalus yang mewah.
  • Masuknya Dinasti Murabithun ke Andalusia ketika kecemerlangan inteletual kalangan arab telah mengganti kesenangan berperang.
  • Kontak dengan peradaban sedang menurun dan tidak siap mengadakan asimilasi.
  • Dikalahkan oleh dinasti dari rumpun keluarganya sendiri, yaitu al-Muwahhidun.

 

 

 

  1. Dinasti Muwahhidun
  2. Sejarah Berdirinya

Pencetus Dinasti Muwahhidun adalah Muhammad bin Tumart, namun ia sendiri tidak pernah menjadi Sultan pada masa Dinasti Muwahhidun. Tapi ia lebih terkenal dengan sebutan Abdul Al-Mu’min yang awalnya sebagai  panglima. Ia akhirnya memimpin Dinasti Muwahhidun selama 33 tahun (1130-1163) dengan membawa kemajuan yang sangat pesat.[28]

Ibnu Tumart sebagai pencetus, mula-mula pergi ke Tanmaal di wilayah Sus untuk menyusun kekuatan. Yang pertama dilakukan adalah memberantas paham Dinasti Murabbitun  yang menyimpang, menyerukan kemurnian tauhid menentang kekafiran, antrophomorpisme dan mengajak ummat menjalankan agama sesuai yang diperintahkan dan menjauhi yang menjadi larangan agama, walaupun harus dengan kekerasan. Murid-murid disuruh membuat benteng agar sukar bagi musuh hendak memasukinya. Di Tanmaal  inilah Ibnu Tumart merumuskan system militernya sebagai organisasi pemerintahan.[29]

  1. Masa Kejayaan Dinasti Muwahhidun

Sesudah Ibnu Tumart meninggal dunia, Abdul Mukmin bin Ali, diangkat sebagai penggantinya. Setelah mendapat pengakuan dan dinobatkan oleh Dewan 10 orang. Ia diberi gelar bukan Al-Mahdi, melainkan Khalifah. Pada masa kepemimpinannya inilah Dinasti Muwahhidin, meraih kemenangan dalam beberapa peperangan.

Dalam masa pemerintahan Abdul Mukmin bin Ali, wilayah kekuasaan Dinasti Muwahidun membentang dari Tripoli hingga ke Samudera Atlantik sebelah barat, semua ini merupakan prestasi gemilang yang belum pernah dicapai Dinasti atau Kerajaan manapun di Afrika Utara.[30]

Setelah Abdul Mukmin bin Ali diangkat menjadi Khalifah di Dinasti Muwahhidun, langkah pertama yang ia lakukan adalah meruntuhkan kabilah-kabilah di Afrika Utara dan mengakhiri kekuasaan Murabithun di Afrika Utara. Sejak tahun 1144-1146 M, ia berhasil menguasai kota-kota yang pernah dikuasai Dinasti Murabithun, seperti Tlemcen, Fez, Tangier dan Aghmat. Setelah itu daerah tersebut dikuasai, Abdul Mukmin bin Ali, memperluas daerah kekuasan sampai ke daerah Andalusia dikuasainya pada tahun 1145 M. Kemudian pada tahun 1147 M seluruh wilayah yang pernah dikuasai oleh Dinasti Murabithun, di ambil sepenuhnya oleh Dinasti Muwahhidun.

Sejak Marrakech dikuasai, pada tahun 1146 Abdul Mukmin bin Ali memindahkan Ibu kota pemerintahan Dinasti Muwahhidun dari Tinmal ke kota tersebut dan dari sana ia menyusun ekspansinya ke berbagai daerah, sehingga ia bisa menguasai Al-Jazair (1152), Tunisia (1158), Tripoli –Libya (1160).

  1. Masa Kemunduran Dinasti Muwahhidun

Kemunduran Dinasti Muwahhidun disebabkan sebagai-berikut:[31]

  • Perebutan tahta dikalangan keluarga kerajaan.
  • Melemahnya control terhadap penguasa daerah.
  • Mengendurnya tradisi disiplin.
  • Memudarnya keyakinan Ibn Tumar, bahkan namanya tak disebut lagi  dalam  dokumen Negara.
  • Menguatnya kelompok dan raja-raja Kristen Andalusia dan lain –lain.

Kemunduran tersebut diatas karena banyak persoalan yang dihadapi, akhirnya kekuasaan Dinasti Muwahhidun melemah dan kemudian hancur akibat serangan dari berbagai pihak, terutama raja- raja Kristen yang semakin menampakkan kekuatan mereka terhadap Dinasti Muwahhidun.[32] Akhirnya Dinasti Muwahhidun  di Andalusia maupun di Afrika Utara kini hanya kenangan sejarah, meskipun peninggalan- peninggalannya masih terdapat di beberapa wilayah  bekas kekuasaaannya

  1. Dinasti Fathimiyah
  2. Sejarah Berdirinya

Dinasti Fatimiyah  atau disebut juga al-Fathimiyyun  adalah satu-satunya Dinasti Shi’ah dalam Islam yang penamaannya dinisbatkan kepada Fatimah al-Zahra, putri nabi Muhammad SAW.  Kebangkitan Dinasti ini berasal dari suatu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia (Ifriqiyyah) Kemunculan Dinasti ini seperti yang dikatakan  JJ. Sounders adalah diakibatkan oleh tuntutan Imamah sebagai Khalifah atau pengganti Rasulallah setelah wafat. Lebih jauh ia mengatakan gerakan Shi’ah tersebut merupakan sebuah protes politik terhadap penguasa. dan sebagai tandingan bagi penguasa dunia Islam pada saat itu yang terpusat di Baghdad. Protes politik tersebut dilakukan dengan jalan konfrontasi, sehingga para penguasa (Mu’awiyah dan Abbasiyah) tidak ragu-ragu membunuh keluarga Ahl al-Bayt dan mengintimidasi para pengikutnya.[33]

Dinasti Fathimiyah didirikan oleh Said bin Husain alias Ubaidillah Al-Mahdi pada tahun 909 M. oleh karena itu Dinasti ini juga disebut Dinati Ubaidiyah. Dinasti Fathimiyah berdiri di Tunisia, sebelum akhirnya pindah ke Mesir pada 969 M. Dinamakan Fathimiyah karena dikaitkan dengan Fatimah binti Muhammad SAW, istri Ali bin Abi Thalib. Ubaidillah mengklaim dirinya sebagai keturunan Ali dan Fatimah melalui Ismail bin Ja’far as-Sidiq. Dinasti Fathimiyah bermazhab Syiah. Dinasti ini berkuasa tahun 297 – 567 H / 909 – 1171 M.[34]

  1. Masa Kejayaan Dinasti Fathimiyah

Pada tahun 914 M, Ubaidillah Al-Mahdi melakukan pergerakan pertama kali dalam perluasan daerah Dinasti Fathimiyah ke arah Timur dan berhasil menaklukkan Alexanderia, menguasai Syiria, Malta, Sardinia, Cosrica, pulau Betrix dan pulau lainnya. Selanjutnya pada tahun 920 M, Ubaidillah Al-Mahdi mendirikan kota baru di pantai Tusinia yang kemudian diberi nama kota Al-Mahdi.

Pada tahun 934 M, Ubaidillah Al-Mahdi wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Al-Qosim dengan gelar Al-Qoim (934 M/ 323 H). Pada tahun 934 M, Al-Qoim mampu menaklukkan kota Genoa dan wilayah sepanjang Calabria. Pada waktu yang sama ia mengirim pasukan ke Mesir tetapi tidak berhasil karena sering dihadang oleh Pasukan dari Abu Yazid Makad, seorang khawarij di Mesir. Al-Qoim meninggal, kemudian digantikan oleh anaknya Al-Mansur yang berhasil menumpas pemberontakan Abu Yazid Makad.[35]

Pada tahun 945 M, Dinasti Fathimiyah berhasil memantapkan kekuasaannya di Tunisia dan menguasai beberapa daerah sekelilingnya dan Sisilia. Kemajuan-kemajuan yang paling penting terjadi selama pemerintahan Al-Muiz dikarenakan mempunyai seorang Jendral yang cemerlang yaitu Jauhar. Dalam bagian awal pemerintahan, Jauhar memimpin suatu pasukan penakluk ke atlentik, dan keunggulan Fathimiyah ditegakkan atas seluruh Afrika Utara. Kemudian Al-Muiz mengalihkan perhatiannya ke Timur.

Jelas tersirat dalam pendirian Dinasti Fathimiyah bahwa mereka harus mencoba untuk menguasai pusat dunia Islam dan dua pendahulunya telah melakukan perjalanan penaklukan yang tidak berhasil terhadap Mesir. Sekarang, persiapan-persiapan cermat termasuk propaganda politis (yang dibantu oleh bencana kelaparan hebat di Mesir). Jauhar menerobos Kairo Lama (Al-Fustat) tanpa  mengalami  kesulitan yang berarti, sampai akhirnya dia bisa menguasai negara ini.

Seorang pangeran Ikhshidiyah secara resmi masih berkuasa, tetapi rezim Ikhshidiyah sudah tidak berfungsi lagi dan tidak memberikan perlawanan pada Jauhar. Nama Khalifah Abbasiyah serta merta dihilangkan dari do’a ibadah Jum’at, walaupun cara-cara ibadah Ismailiyah hanya dimasukkan secara bertahap. Jauhar segera mulai membangun sebuah kota baru bagi tentaranya yang diberi nama Al-Qahirah yang berarti kota kemenangan atau disebut juga dengan Kairo. Pada tahun 973 M kota Kairo menjadi kediaman imam atau Khalifah Fathimiyah dan pusat pemerintahan.[36]

  1. Masa Kemunduran Dinasti Fathimiyah

Masa kemunduran Dinasti Fathimiyah dimulai ketika Al-Aziz meninggal dan digantikan oleh Al-Hakim yang banyak melakukan kerusakan, seperti membunuh sejumlah menteri, merusak gereja suci di Palestina pada tahun 1009 M, yang menjadi salah satu pemicu terjadinya perang salib, serta ia mengaku sebagai inkarnasi dari Tuhan dan akhirnya ia mati dibunuh atas lonspirasi Sitt Al-Mulk dengan Muwattam. Setelah meninggal, Al-Hakim diganti oleh putranya, Abu Hasan Ali Al-Zhahir (1021-1035 M), dan ia meninggal karena sakit (1035M), kemudian digantikan oleh Abu Tamim Ma’ad Al-Muntansir (ketika berusia 7 tahun).

Pasa saat yang bersamaan, Paletina berontak, Saljuk berhasil menguasai Asia Barat, propinsi-propinsi si Afrika menolak membayar pajak dan menyatakan lepas dari Fathimiyah atas dukungan dinasti bani Abbas, Tripoli dan Tunisia dikuasai oleh suku Hilal dan Sulaim (1052M), dan Sicilia dikuasai oleh bangsa Normandia (1071 M).[37]

Keadaan Dinasti Fathimiyah mengalami kehancuran yang lebih parah lagi dikarenakan peristiwa alam. Wabah penyakit dan kemarau panjang sehingga sungai Nil kering, menjadi sebab terjadinya perang saudara. Setelah meninggal, Abu Tamim Ma’ad Al-Muntansir diganti oleh anaknya, Al-Musta’ii. Akan tetapi, Nizar anak Abu Tamum Ma’ad al-Muntansir yang tetua melarikan diri ke Iskandariyah dan menyatakan diri sebagai khalifah. Oleh karena itu, Fathimiyah terpecah menjadi dua yaitu Nizari dan Musta’ii. Pada masa Al-Mustali, pasukan salib melakukan serangan sehingga menguasai Antokia hingga Baitul Muqaddas. Setelah wafat, Al-Musta’li diganti oleh Al-Amir (ketika berusia 5 tahun). Al-Amir meninggal karena dibunuh oleh kelompok Bathiniyah dan diganti oleh Al-Hafizh dan setelah meninggal dunia, Al-Hafizh diganti oleh al-Zafir.[38]

Karena tentara salib begitu tangguh, Al-Zafir meminta bantuan kepada Nuruddin Al-Zanki (Gubernur Syiria di bawah Khalifah Abbasiyah, di Baghdad). Nuruddin Al-Zanki mengirim pasukan di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin Al-Ayubi. Setelah berhasil mengalahkan pasukan salib, pasukan Nuruddin Al-Zanki kembali ke Syiria. Akan tetapi, sepeninggal pasukan tersebut terdapat konflik internal. Yaitu Syawar mengundang tentara salib ke Mesir karena ia ingin memperoleh jabatan sebagai wazir. Akhirnya, pasukan Nuruddin Al-zanki yang dipimpin oleh Syirkuh datang kembali ke Mesir. Syawar ditangkap dan kepalanya dipenggal atas perintah Dinasti Fathimiyah. Syirkuh akhirnya diangkat menjadi wazir oleh Dinasti Fathimiyah (564 H); tiga bulan kemudian, Syirkuh wafat, dan diganti oleh keponakannya, Salahuddin Al-Ayubi. Pada tanggal 10 Muharram 567 H/ 1171 M, Khalifah al-Adid (Fathimiyah) wafat dan kekuasaanya berpindah ke tangan Salahuddin Al-Ayubi.[39]

 

  1. Kemajuan Peradaban Islam di Afrika Utara

Sejak kedatangan Islam di Afrika Utara, kebudayaan dan peradaban Islam sudah mulai menampakkan perkembangannya. Hal ini ditandai dengan berkembangnya Qairawan yang bangun oleh ‘Uqbah bin Nafi’. Pada tahun 50 H/670 M yang tidak menjadi kota militer semata, tetapi menjadi satu pusat ilmu dan peradaban yang cemerlang dalam sejarah Islam.[40]

Maka kemajuan peradaban Islam di Afrika Utara bisa dilihat dari:

  1. Aspek Ilmu Pengetahuan

Kebijakan Islamisasi yang diterapkan di daerah Afrika Utara secara keseluruhan oleh Musa bin Nushair, walaupun tidak menjadikan seluruh penduduknya menganut agama Islam, dapat dikatakan sebagai langkah rintisan bagi proses perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam. Paling tidak, dengan kebijakan itu bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa resmi negara dan pergaulan di Afrika Utara.

Langkah ini sangat efektif, sehingga bahasa Arab dapat menggeser bahasa latin, meskipun ia sangat sedikit mempengaruhi dialek-dialek asli bangsa Barbar.[41] Pada gilirannya, kemajuan Islam berbagai disiplin ilmu pengetahuan (yang berkaitan dengan masalah teologi, hukum, sejarah, sastra, puisi, filsafat, dan biografi) di kemudian hari semua ditulis dalam bahasa Arab.[42] Sehingga muncullah tokoh-tokoh ilmuwan yang sangat terkenal dalam bidangnya seperti Ibnu Sida’, Abu Bakar Al-Turtusi yang terkenal dengan Ibnu Abi Randaq dengan karyanya “Siraj Al-Mulk”.[43] Sementara dalam ilmu kesehatan dapat dilihat dengan berdirinya sebuah rumah sakit yang besar di Marrakesh.[44]

Di bidang kedokteran ada tokoh terkenal yaitu Marwan bin Abdul Malik bin Zuhri yang lebih terkenal dengan nama Ibnu Zuhri. Ia adalah seorang dokter dan ahli bedah terkenal yang hidup pada zaman Ibnu Rusydi. Kemudian, dengan keahlian yang Ia miliki, Ia mengabdikan dirinya kepada Yusuf bin Tasyfin, Khalifah Ibnu Al-Murabithun, untuk membantu dalam bidang kedokteran. Ia yang pertama kali memikirkan Bronchotomi, dengan menunjukkan secara jelas cerai sendi dan patah tulang. Putranya, Marwan, juga mengikuti jejak ayahnya menjadi ahli bedah dan dokter tentara Yusuf bin Tasyfin.[45]

Di bidang sejarah dan sosiologi, tokoh Ibnu Khaldun menjadi maestro terbesar dalam sejarah Islam, sehingga ia terkenal sebagai Bapak Filsafat Sejarah dan juga sebagai Bapak Sosiologi. Kitab sejarah yang terkenal dan ditulis oleh Ibnu Khaldun adalah Kitab Al-Ibar, yang di tulis selama 4 tahun di daerah Oran. ada masih ada karya-karya beliau yang lainnya seperti Kitab Muqoddimah (karya Masterpiecenya).[46]

Di bidang Geografi Islam muncul tokoh terkenal di Afrika Utara yaitu Ibnu Batuta, seorang pengembara muslim terkenal yang bernama asli Muhammad bin Abdullah. Kumpulan catatan-catatan selama berkeliling merupakan informasi yang bernilai tinggi dalam dunia Islam, kondisi-kondisi sosial, adat istiadat, dan hal-hal tentang kehidupan penduduk diberbagai bagian dunia Islam.[47]

Pada sisi lain, para penguasa Dinasti Aghlabiyah sangat peduli terhadap masalah kehidupan intelektual dan mereka memiliki jasa yang sangat besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan, seperti teologi, hukum dan puisi Maghribi. Dalam hal ilmu hukum, ada seorang lulusan sekolah Qairawan yaitu Sahnun, Ia adalah ahli hukum bermazhab Maliki yang berpengaruh masih terasa sampai sekarang.[48]

  1. Aspek Sosial dan Politik

Islam sebagai kekuatan politik memasuki daratan Afrika Utara, berawal semenjak pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab yang dapat menguasai mesir. Kemudian pada masa pemarintahan Usman bin Affan, tepatnya tahun 35 H, kekuasaan Islam sampai Tripoli, Tania, bahkan mencapai kawasan Tunisia. Proses persaingan kekuasaan Islam sempat terhenti berkenaan dengan terbunuhnya Usman bin Affan pada 36 H. Ketika Mu’awiyah berkuasa penuh di Damaskus, perluasan daerah kekuasaan terus diusahakan, termasuk kelanjutan perluasan kekuasaan islam di Afrika Utara. Dengan diangkatnya ‘Amru bin ‘Ash sebagai Gubernur Mesir, maka kebijaksanaan memperluas wilayah kekuasaan Islam dihidupkan kembali. Pada 50 H, sebuah kawasan (yang akhirnya dikenal dengan nama Qayrawan) yang terletak di wilayah Afrika Utara dapat dikuasai oleh kaum muslimin di bawah pimpinan Uqbah ibn Nafi.

Pada masa Dinasti-dinasti yang berdiri di daerah Afrika Utara banyak kemajuan dalam hal sosial dan politik, seperti:

  1. Dinasti Idrisiyah, dalam hal sosial dan politik, Nampak pada waktu suku Barbar bersedia menerima Idris bin Abdullah, dimana Idris bin Abdullah banyak mempengaruhi suku Barbar dengan aspek sosial dan politik dibanding aspek keagamaan, karena aspek sosial dan politik sangat menentukan Idris bin Abdullah dalam meyakinkan orang-orang Barbar bahwa dirinya merupakan keturunan Ali bin Abu Thalib.
  2. Dinasti Murabithun, dalam hal sosial dan politik yang berjalan dalam Dinasti ini adalah dalam aspek politik, mereka memakai masjid sebagai benteng pertahanan Islam yang berada di sekitar masjid. Masjid mempunyai multifungsi sebagai tempat ibadah, penyebaran dakwah sekaligus sebagai benteng pertahanan. Anggota pertamanya berasal dari Lamtuna bagian dari suku Sanhaja yang suka mengembara di padang Sahara. Sedangkan dalam hal aspek sosial, para wanita dari kalangan Dinasti ini adalah menggunakan cadar yang menutupi wajah di bawah mata, kebiasaan ini dinamakan Mulatstsamun (para pemakai cadar) yang kadang-kadang menjadi sebutan lain bagi kaum Murabithun.[49]
  3. Dinasti Muwahhidun, dalam hal sosial dan politik, pada masa Ibnu Tumart menyebarkan dan mengajak masyarakat Afrika Utara dalam mengikuti dakwahnya, ia menggalang dan membentengi diri dengan membentuk dewan, yang terdiri dari Dewan Menteri, Dewan Majelis Pemuka Suku, dan Majelis Rakyat. Tujuan dibentuk dewan tersebut adalah untuk mengkoordinir anggota dalam pengembangan agama dan juga untuk memudahkan mengkoordinir pemerintahan dari segi politik. [50]
  4. Dinasti Fathimiyah, didalam sistem politik dan sosial yang berjalan di pemerintahannya menganut paham keagamaan. Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh dukungan rakyat, maka khalifah sering menggunakan paham keagamaan. Hal yang ini jugalah yang membawa pengaruh kepada corak sosial yang religius. Sehingga sosial dan politik pada waktu Dinasti Fathimiyah menggunakan aliran agama yang sangat kental.

 

 

  1. Aspek Karakteristik Manajemen Pendidikan Islam

Menilik seluk beluk pendidikan, akan membuka wacana kepada sistem dan institusi pendidikan itu sendiri. Islam, sebagai sebuah peradaban, memiliki kualitas peradaban yang jauh lebih dahulu maju dibandingkan dengan peradaban Barat (Eropa). Dalam sejarahnya, peradaban Islam memiliki sistem pendidikan yang akomodatif serta mampu menjadi inspirasi kemajuan berbagai peradaban lain.[51]

Perjalanan pendidikan Islam di Afrika Utara, dimulai pada masa Dinasti Idrisiyah, pada tahun 859 M, Fatimah Al-Fihri, puteri dari seorang saudagar bernama Muhammad Al-Fihri, di Fez, Maroko,  mendirikan sebuah wadah lembaga pendidikan yang berbentuk madrasah dan diberi nama Jami’ah Al-Qarawiyyin. Sebagaimana, tradisi pendidikan Islam saat itu, Jami’ah Al-Qarawiyyin juga berada di dalam komplek Masjid Al-Qarawiyun.

Awalnya berdirinya Jami’ah Al-Qarawiyyin adalah sebuah komunitas Qairawaniyyin di Kota Fez (Maroko). Komunitas membuat diskusi-diskusi kecil di sebuah masjid. Masjid yang berfungsi sebagai tempat ibadah di halakah, banyak diikuti para penduduk sekitar. Umat Islam di Kota Fez pada abad ke-9 M juga menjadikannya sebagai tempat untuk membahas perkembangan politik. Sehingga akhirnya, materi yang diajarkan dan dibahas dalam ajang diskusi itu berkembang mencakup berbagai bidang, tak cuma mengkaji Alquran dan Fiqih saja.

Wacana yang dibahas dalam diskusi di emper Masjid Al-Qarawiyyin itu pun meluas hingga mengkaji tata bahasa, logika, kedokteran, matematika, astronomi, kimia, sejarah, geografi, hingga musik. Beragam topik yang disajikan dengan berkualitas oleh para ilmuwan terkemuka akhirnya mampu membetot perhatian para pelajar dari berbagai belahan dunia.

Seiring dengan waktu, pada akhirnya Al-Qawariyyin melahirkan sejumlah tokoh ilmuwan Muslim kenamaan , di antaranya, Abu Abullah Al-Sati, Abu Al-Abbas al-Zwawi, Ibnu Rashid Al-Sabti, Ibnu Al-Haj Al-Fasi, serta Abu Mazhab Al-Fasi, yang memimpin generasinya dalam mempelajari mazhab Maliki. Tak heran bila kemudian, Jami’ah al-Qarawiyyin ini menjadi perguruan tinggi paling prestisius di abad pertengahan.

Kemudian pada masa Dinasti Fathimiyah, para Khalifahnya memiliki kecenderungan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, terlihat sejak Khalifah Al-Muiz, yang memerintahkan Panglima Jauhar Al-Shhiqily membangun Al-Azhar, awal merupakan sebuah bangunan masjid yang tidak berbeda dengan masjid-masjid lain pada umumnya yang sudah ada pada saat itu. Masjid ini awalnya digunakan sebagai pusat latihan kader penyebar ideologi Syi’ah mengancam otoritas Abbasiyah Sunni.

Pada mulanya pengajaran di Universitas al-Azhar sama dengan institusi pendidikan lain, yaitu sistem ber-halaqah (melingkar) seorang pelajar bebas memilih guru dan pindah sesuai dengan kemauan. Metode yang digunakan adalah berdiskusi, sebagai metode dalam proses pembelajaran antar pelajar, seorang guru hanya berperan sebagai fasilitas memberikan penajaman dari materi yang didiskusikan. Kurikulum yang dipakai di al-Azhar pada mulanya fiqih dan al-Qur’an, dan ilmu agama lainnya. Namun setelah menjadi universitas, mulai memasukan ilmu-ilmu umum, seperti kedokteran, ilmu, sejarah, ilmu hitung, logika dan lain-lain.[52]

Akhirnya sistem pengajaran di Al-Azhar berkembang, dan terbagi menjadi empat kelas yaitu:[53]

  1. Kelas umum diperuntukan bagi orang yang datang ke al-Azhar untuk mempelajari Al-Qur’an dan penafsirannya
  2. Kelas para mahasiswa Universitas al-Azhar kuliah dengan para dosen yang di tandai dengan mengajukan pertanyaan dan mengkaji jawabannya.
  3. Kelas Darul Hikam, kuliah formal ini diberikan oleh para mubaligh seminggu sekali pada hari senin yang dibuka untuk umum dan pada hari kamis dibuka khusus untuk mahasiswa pilihan.
  4. Kelas non-formal, yaitu kelas untuk pelajar wanita.

Kemudian, pengembangan Al-Azhar dilakukan pada masa Khalifah Al-Aziz Billah, tahun 988 M, dengan usaha Yakub bin Kills, Al-Azhar dijadikan sebagai Universitas Islam yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, ilmu akal (logika) dan ilmu umum lainnya. Untuk menunjang kegiatan pendidikan dan pengajaran, Al-Azhar dilengkapi dengan asrama untuk para fuqaha (dosen, tenaga pendidik), serta semua urusan yang kebutuhannya ditanggung oleh Khalifah. Adapun ilmu agama yang di ajarkan meliputi: Ilmu Tafsir, Qiraat, Hadis, Fiqih, Nahwu, Shorof dan Sastra. Sedangkan ilmu-ilmu umum yang diajarkan meliputi: Filsafat, Ilmu Falak, Ilmu Ukur, Musik, Kedokteran, Kimia dan Sejarah, serta Ilmu Bumi.[54]

Al-Hakim (996-1021) mendirikan Darul Hikmah, yakni pusat pengajaran ilmu kedokteran dan ilmu astronomi. Sistem pembelajaran Darul Hikmah yaitu mengajarkan membaca, menulis dan melakukan penelitian. Sehingga muncullah ilmuwan muslim seperti Ibnu Yunus (348-399 H./958-1009 M.) seorang astronom besar dan Ibnu Haitam (354-430 H./965-1039 M.) seorang tokoh fisika dan optik. Selain itu ia mendirikan Darul Ilmi, suatu perpustakaan yang menyediakan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.[55]

Pada tahun 1013 Al-Hakim membentuk Majelis Ilmu (Lembaga Seminar) di istananya, tempat berkumpulnya sejumlah ilmuwan untuk mendiskusikan berbagai cabang ilmu. Kegiatan ilmiah ini ternyata memunculkan sejumlah ilmuwan besar Mesir yang pikiran dan karya-karyanya berpengaruh ke seluruh dunia Islam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

 

  1. Islamisasi di Afrika Utara, dimulai ketika daerah tersebut berada di bawah kekuasaan kekaisaran Romawi. Kaisar-kaisar Romawi dikenal dalam sejarah sebagai penguasa-pengauasa yang kejam, lalim dan berdarah penjajah. Setelah kedatangan Islam, berbagai tindakan kedzoliman mulain dihapuskan, bahkan orang-orang suku Barbar banyak yang diakomodasi dalam pemerintahan. Tidak hanya itu, Islam juga yang menggoreskan tinta emasnya di wilayah itu dengan capaian-capaian peradaban yang sangat tinggi. Maka dapat dikatakan bahwa Islamisasi di Afrika Utara dapat dikatakan sebagai pembebas terhadap daerah itu, sebagaimana hal itu juga sering terjadi pada daerah-daerah taklukkan Islam yang lain.
  2. Dari berbagai kondisi yang di alami oleh dinasti-dinasti di Afrika Utara memberikan pengaruhnya dalam perjalanan sejarah peradaban Islam. Banyak hal dapat dipelajari dari  perjalanan sejarah peradaban Islam tersebut, mulai dari dinasti Idrisiyah, Rustamiyah, Aghlabiyah, Muwahhidun, Murabbithun dan Fathimiyah dalam memberikan  pengaruh peradabannya di Afrika Utara. Dari dinasti-dinasti itu mereka pernah mengalami masa jaya dan mundur, masa jaya mereka tidak terlepas dari cara pengelolaan system pemerintahan yang baik pada masa awal-awal terbentuk. Namun hal itu tak berlangsung lama karena masalah yang timbul dalam internal dan luar dari kekuasaan mereka. Beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan mereka hancur adalah karena ketidak cakapan beberapa khalifah yang memimpin, selain itu juga mereka lalai terhadap tugas mereka sebagai khalifah yang seharusnya berlaku adil dan bijaksana dalam mengelola pemerintahannya.
  3. Kemajuan peradaban Islam di Afrika Utara yang di bangun oleh dinasti-dinastinya dipengaruhi oleh beberapa aspek yaitu Ilmu Pengetahuan, Sosial dan Politik, dan Manajemen Pendidikan Islam.
  4. Kemajuan aspek ilmu pengetahuan dapat dilihat dengan berkembang pola pemikiran para intelektual di Afrika Utara sehingga muncullah tokoh-tokoh ilmuwan yang sangat terkenal dalam bidangnya seperti Ibnu Sida’, Abu Bakar Al-Turtusi yang terkenal dengan Ibnu Abi Randaq dengan karyanya “Siraj Al-Mulk”. Di bidang kedokteran ada tokoh terkenal yaitu Marwan bin Abdul Malik bin Zuhri yang lebih terkenal dengan nama Ibnu Zuhri. Di bidang sejarah dan sosiologi, tokoh Ibnu Khaldun menjadi maestro terbesar dalam sejarah Islam, sehingga ia terkenal sebagai Bapak Filsafat Sejarah dan juga sebagai Bapak Sosiologi. Di bidang Geografi Islam muncul tokoh terkenal di Afrika Utara yaitu Ibnu Batuta, seorang pengembara muslim terkenal yang bernama asli Muhammad bin Abdullah. dan masih banyak lagi yang lainnya.
  5. Kemajuan aspek sosial politik di Afrika Utara yang dilakukan oleh Dinasti-Dinasti Afrika Utara memiliki corak yang berbeda seperti
  • Dinasti Idrisiyah, aspek sosial dan politik digunakan Idris bin Abdullah untuk menyakinkan orang-orang Barbar bahwa dirinya merupakan keturunan Ali bin Abi Thalib.
  • Dinasti Murabithun, dalam hal sosial dan politik yang berjalan dalam Dinasti ini adalah dalam aspek politik, mereka memakai masjid sebagai benteng pertahanan Islam yang berada di sekitar masjid, Sedangkan dalam hal aspek sosial, para wanita dari kalangan Dinasti ini adalah menggunakan cadar yang menutupi wajah di bawah mata, kebiasaan ini dinamakan Mulatstsamun (para pemakai cadar) yang kadang-kadang menjadi sebutan lain bagi kaum Murabithun.
  • Dinasti Muwahhidun, dalam hal sosial dan politik, pada masa Ibnu Tumart sering melakukan bersosialisasi dengan masyarakat untuk mengikuti dakwahnya, kemudian ia menggalang dan membentengi diri dalam berpolitik dengan membentuk dewan, yang terdiri dari Dewan Menteri, Dewan Majelis Pemuka Suku, dan Majelis Rakyat.
  • Dinasti Fathimiyah, didalam sistem politik dan sosial yang berjalan di pemerintahannya menganut paham keagamaan.
  1. Dari aspek kemajuan Manajemen Pendidikan Islam di Afrika Utara di tandai dengan berdirinya sekolah-sekolah yang bermula di Masjid, kemudian mereka membentuk halaqah-halaqah, hal tersebut ditandai dengan berdirinya sekolah seperti Universitas Al-Qarawiyyin, Universitas Al-Azhar dan Perpustakaan Darul Hikmah. Adapun sistem pembelajarannya pertama, masih memakai cara halaqah, dimana murid diberi kebebasan dalam memilih guru sesuai dengan keinginan keilmuan mereka. Kedua, setelah perkembangan sistem halaqah, kemudian berkembang dengan cara madrasah, seperti yang dilakukan oleh Universitas Al-Azhar yang membagi kelas mereka menjadi 4 kelas, sebagai berikut:
  • Kelas umum diperuntukan bagi orang yang datang ke al-Azhar untuk mempelajari Al-Qur’an dan penafsirannya
  • Kelas para mahasiswa Universitas al-Azhar kuliah dengan para dosen yang di tandai dengan mengajukan pertanyaan dan mengkaji jawabannya.
  • Kelas Darul Hikam, kuliah formal ini diberikan oleh para mubaligh seminggu sekali pada hari senin yang dibuka untuk umum dan pada hari kamis dibuka khusus untuk mahasiswa pilihan.
  • Kelas non-formal, yaitu kelas untuk pelajar wanita.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ali, Syed Ameer, 1978. Api Islam. Jakarta: Bulan Bintang

 

Arkoun, M, Louis Gardet, 1997. Islam Kemaren Dan Hari Esok. Bandung: Penerbit Pustaka

 

Boswort, C.E, 1983. Dinasti-Dinasti Islam. Bandung: Mizan

 

Hasan, Masadul, 1995. History Of Islam. Delhi: Adam Publisher and Distributors

 

Hitti, Pilip K, 2010. History of the Arab. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

 

Karim, M. Abdul, 2009. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam. Yogjakarta: Pustaka Book Publisher

 

Kartanegara, Mulyadhi, 2006. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan

 

Maryam, Siti, dkk, 2002. Sejarah Peradaban Islam, Dari Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: LESFI, 2002

 

Mahmudunnasir, Syed, 1994. Islam, Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung: Remaja Rosdakarya

 

Mubarok, Jaih, 2004. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy

 

Mufrodi, M. Ali, 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

 

Muhammad, Wildan, 2002. Peradaban Islam di Afrika Sub-Sahara. Yogyakarta: Lesfi

 

Munir, Syamsul, 2009. Sejarah dan Peradaban Islam. Jakarta: Amzah

 

Nakosteen, Mehdi, 1996. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat. Surabaya, Risalah Gusti

 

Nata, Abuddin, 2004. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Supdriadi, Dedi, 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia

 

Sunanto, Musyrifah, 2011. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Kencana

 

Syukur, Fatah, 2002. Sejarah Pendidikan Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

 

Taufiqurrahman, 2003. Sejarah Social Politik Masyarakat Islam. Surabaya: Pustaka Islamika

 

Thohir, Ajid, 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

 

Watt, W.Montgomery, 1990. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana

 

Yatim, Badri, 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers

 

_______________, 2006. Sejarah Kebudayaan Islam untuk MTs Kelas XI. Yogyakarta, Pustaka Insan Madani

[1] M. Arkoun dan Louis Gardet, Islam Kemaren Dan Hari Esok, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), hal.71

[2] Ibid, hal.91

[3]  M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam (Yogjakarta: Pustaka Book Publisher, 2009), hal.209

[4] Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam, Dari Klasik Hingga Modern (Yogyakarta: LESFI, 2002), hal.258

[5]  Syed Mahmudunnasir, Islam, Konsepsi dan Sejarahnya, terjemahan Adang Affandi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal.313

[6] Siti Maryam, dkk, Op.cit, hal.220

[7] M. Abdul Karim, Op.cit, hal.184

[8] Siti Maryam, dkk, Op.cit, hal.219

[9]  Ibid, hal.221

[10] M. Abdul Karim, Op.cit, hal.185

[11] Siti Maryam, dkk, Op.cit, hal.260-261

[12] Syed Mahmudunnasir, Op.cit, hal.315

[13] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal.88

[14] Wildan Muhammad, Peradaban Islam di Afrika Sub-Sahara, (Yogyakarta: Lesfi, 2002), hal.301

[15] C.E. Boswort, Dinasti-Dinasti Islam, (Bandung: Mizan, 1983), hal.43

[16] Pilip K. Hitti, History of the Arab, Terjemahan R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), hal.570

[17] M. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal.188

[18] C.E. Bosworth, Op.cit, hal.42

[19] Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), hal.158

[20] Pilip K. Hitti, Op.cit, hal.571

[21] C.E. Boswort, Op.cit, hal.43

[22] Ibid, hal.42

[23] Dedi Supriadi, Op.cit, hal.158

[24]  Philip K. Hitti, Op.cit, hal.688

[25]  Siti Maryam, dkk, Op.cit, hal.227

[26] Taufiqurrahman, Sejarah Social Politik Masyarakat Islam, (Surabaya: Pustaka Islamika, 2003), hal.170

[27] Ibid, hal.171

[28] Siti Maryam, dkk, Op.cit, hal.228

[29] Philip K. Hitti, Op.cit, hal.694

[30] Ibid, hal.546

[31] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik , (Jakarta: Kencana, 2011), hal.140

[32] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), hal.109

[33] Philip K. Hitti, Op.cit, hal.787

[34] Sejarah Kebudayaan Islam untuk MTs kelas IX, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2006), hal.44

[35] Ajid Thohir, Op.cit, hal.113

[36] W.Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hal.216

[37]  Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal.104

[38] Ibid, hal.106

[39] Ibid, hal.107

[40] Holt et.al, The Cambridge History Of Islam, (New York: Cambridge University Press,1970), hal.217

[41] Ibid, hal.214-215

[42] Ibid, hal.228

[43] Watt dan Piere Cashia, A History Of Islamic Spain, (Edinburgh: The University Press, 1992), hal.122

[44] Masadul Hasan, History Of Islam, (Delhi: Adam Publisher and Distributors, 1995), hal.538

[45] Syed Ameer Ali, Api Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal.578

[46] Ibid, hal.585

[47] Masadul Hasan, Op.cit, hal.176

 

[48] Holt et.al, Op.cit, hal.217

[49]  Philip K. Hitti, Op.cit, hal.688

[50]  Syamsul Munir, Sejarah dan Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hal.271

[51] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal.5

[52] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal.90

[53] Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), hal.63

[54] Ibid, hal.91-92

[55] Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), hal.36